Jumat, 03 Februari 2012

Pelajar dalam Bingkai Seks Bebas


                Pergaulan pelajar dari hari ke hari sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, berbagai tindak kenakalan remaja mereka lakukan. Sejak dari minuman keras, perkelahian, penodongan, kebut-kebutan, membolos sekolah, narkoba, perjudian, pemerkosaan yang didorong agresifitas seksual, pergaulan bebas, dan seks bebas. Tingkat kenakalan yang terakhir  ini ( baca : seks bebas ) sudah sering kita dengar dari berbagai media. Baik media cetak maupun elektronika.
                Agresifitas seksual yang dipertontonkan oleh kaum pelajar kini sudah meresahkan berbagai pihak. Hal itu terlihat dari pergaulan yang mereka lakukan akhir-akhir ini. Pergaulan bebas yang menjurus pada kemesuman sering diperlihatkan oleh para pelajar. Pelajar berpacaran rasanya hal yang biasa dan lagi ngetrend di kalangan mereka. Bahkan kegiatan tersebut sering dilakukan di tempat-tempat publik. Pergaulan dan seks bebas di kalangan remaja sungguh sangat mengkhawatirkan.
Ada fenomena mengejutkan seputar isu pergaulan remaja tersebut. Salah satunya terjadi di Mojokerto. Yakni,selama 2010, 60 pelajar di wilayah Kabupaten Mojokerto tersebut hamil di luar nikah ( Jawa Pos,11 /09/2011 ). Menurut catatan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana ( BPPKB)  Kabupaten Mojokerto, dari 60 pelajar yang hamil di luar nikah itu didominasi siswi tingkat SMA yang mencapai 42 orang, siswi SMP 12 orang, dan siswi SD 6 orang.  Ironisnya, tak satu pun pihak sekolah yang melapor. Mereka menganggap hal tersebut sebagai aib sehingga harus ditutup rapat-rapat tanpa berusaha mencari solusi.
Masalah remaja yang melakukan deviant behavior ( seks bebas atau tindakan kriminal lainnya di luar batasan norma ) adalah masalah kita semua. Permasalahan yang menimpa remaja ini bukan berarti tanpa sebab. Watak dan karakter remaja terbentuk karena adanya sebuah system ( baca : kultur ) yang selama ini melingkupinya. Teori psikologi klasik mengemukakan, perilaku seseorang dipengaruhi baik oleh kepribadian individu maupun lingkungan sekitarnya. Boleh jadi perilaku remaja ini terbentuk karena kondisi yang memungkinkan untuk itu.
Bebasnya pergaulan pelajar setidaknya didorong oleh tiga hal.  Pertama, lemahnya system control dan monitoring sekolah. Sekolah telah gagal mengemban misinya senagai lembaga pembentukan karakter  ( character building ) dan agen perubahan ( agent of change ). Kedua, derasnya arus informasi dan hiburan di tengah-tengah masyarakat.  Di era globalisasi ini di mana sekat-sekat kehidupan sudah tidak kentara lagi membuat masyarakat mudah mengakses berbagai  informasi dan hiburan. Tak jarang para remaja mengakses hal-hal yang berbau porno dan mesum. Baik yang berupa gambar maupun tulisan. Sehingga hal ini membuat remaja semakin tertarik untuk mencobanya.
                Kedua, merebaknya tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Saat ini kita sering disuguhi tontonan-tontonan murahan yang hanya mengeksploitasi kekerasan, klenik ,  dan  sensualitas manusia . Selain itu sinetron-sinetron yang berlatarbelakang pendidikan pun tidak mengusung nilai-nilai pendidikan yang benar. Bahkan sinetron yang menceritakan kehidupan di sekolah tetapi sama sekali tidak mencerminkan anak sekolah.
 Sinetron tersebut hanya menampilkan budaya pacaran ( perebutan pacar ), perkelahian, pemakaian seragam seenaknya dan siswa tersebut berani melawan guru, siswa pria memakai anting-anting di telinga, hidung atau asesoris lainnya yang sama sekali tidak menggambarkan seorang anak sekolah. Sementara siswa perempuannya seringkali memakai rok mini yang nyaris mempertontonkan paha atau bagian tubuh lainnya yang sangat bertentangan dengan agama, etika, moralita, dan estetika ketimuran yang selama ini diajarkan di sekolah.  Lebih parahnya sinetron-sinetron tersebut ditayangkan di prime time di mana jam-jam tersebut seharusnya digunakan para pelajar untuk belajar, akibatnya banyak pelajar yang menonotn tayangan yang tidak mendidik ini.
Ketiga, merebaknya budaya hedonis, pragmatisme, dan permisivisme. Hasil survei memperlihatkan pelajar/ remaja Indonesia cenderung bersikap apolitis dan apatis terhadap keadaan. Mereka lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk berhura-hura daripada melakukan kegiatan positif. Lebih dari itu, mereka bersikap permisif terhadap perilaku kebebasan seks. Budaya-budaya glamour, nge-pop, sok perlente, sok keren, sok gaul, telah menyeret pelajar pada budaya hedonis dan permisif. Sedangkan lingkungan pun telah mendukung ke arah hal tersebut. Menjamurnya keping VCD porno, bioskop, bar, diskotik, minuman keras, majalah/koran seronok yang menampilkan gambar-gambar syur, porno, dan cerita mesum, setidak-tidaknya telah memberikan andil dalam membentuk pergaulan remaja sekarang ini.
Budaya pornografi memang telah merunyak ke seluruh permukaan negeri. Bahkan hal-hal yang dulu dianggap tabu, saru, kini semuanya serba biasa, wajar,dan boleh. Inilah ekses dari globalisasi dunia yang bebas nilai, yaitu budaya permisif dan hedonis. Sehingga hal ini sangat menuntut semua komponen bangsa untuk segera mencarikan solusinya.
Solusi alternatif itu adalah sebuah hal yang sangat mendesak untuk segera dicarikan. Mengingat tingkat kerusakan itu sudah mengkhawatirkan. Bahkan arus budaya pornografi dan kemesuman itu begitu deras melaju hampir tanpa ada hambatan. Sehingga jika tidak segera dibendung laju arus pornografi itu akan membahayakan bagi para remaja pelanjut bangsa.
Fenomena pornografi dan pornoaksi yang merunyak ini tanpa sebuah efek yang melingkarinya. Jika suatu masyarakat yang didalamnya terdapat remaja yang sudah gandrung dengan pornografi dan pornoaksi sudah dipastikan negara tersebut akan mengalami kehancuran. Semua komponen bangsa ini hendaknya belajar dari bangsa-bangsa terdahulu yang telah mendewa-dewakan hawa nafsu. Remaja Indonesia harus dijauhkan dari budaya mesum, pornografi, dan pornoaksi  jika ingin remaja Indonesia menjadi remaja yang tangguh, sholeh,berakhlak mulia , dan siap menggantikan estafet kepemimpinan bangsa.
Sebagai orang tua yang hidup di era globalisasi ini memang tidak mudah menghadapi hal tersebut. Tetapi yang jelas sebagai orang tua hendaknya memberikan pemahaman yang jelas dan benar terhadap pelajar dalam menapaki kehidupan ini. Penguatan keimanan dan ketakwaan sebagai basic element sangat perlu untuk membentengi para pelajar Pemahaman tentang bahayanya pergaulan bebas, narkoba, minuman keras, dan sebagainya perlu juga disampaikan kepada pelajar. Selain itu mengenalkan  seks sejak dini kepada mereka perlu dilakukan mengingat kondisi saat ini yang mengkhawatirkan. Dengan mengenal sejak dini diharapkan siswa tidak akan gegabah dan main-main dengan aktivitas yang menjurus pada pelecehan seksual. Tentu saja hal ini dilakukan dengan bekerjasama secara sinergis antara orang tua, sekolah ( guru ), dan masyarakat. Pemerintah pun diharapkan memiliki andil dalam menyelamatkan pelajar yang notabenenya generasi penerus dan pelanjut bangsa.
Media komunikasi pun ( dalam hal ini media cetak dan elektronik ) segera menyadari akan peran yang diembannya. Media yang sering menayangkan acara berbau pornogarafi, hendaknya segera sadar bahwa tayangan itu membahayakan bagi pemirsanya. Perlahan tapi pasti karakter individu akan dipengaruhi oleh media yang melingkupinya. Untuk itu penyadaran kembali akan bahaya pornogarafi segera dilakukan sehingga remaja tersebut tidak akan kehilangan arah hidup dan akhirnya akan terselamatkan.
Fenomena seks bebas yang terjadi di Mojokerto  adalah hanyalah sebuah fenomena gunung es yang terjadi di salah satu kota . Masih banyak fenomena serupa yang terjadi di beberapa sudut kota di Indonesia ini yang belum tersentuh. Semoga dengan adanya fenomena Mojokerto ini menjadikan pemerintah untuk serius mencarikan solusi terbaik demi keselamatan remaja penerus dan pelanjut bangsa. Untuk itu penyadaran kembali akan bahaya pornografi, pergaulan bebas, seks bebas, dan penguatan keimanan segera dilakukan sehingga remaja tersebut tidak akan kehilangan arah hidup dan akhirnya akan terselamatkan.
Penulis :    Muhdiyatmoko,S.Pd;
Staf  Pengajar SMP  Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar