Kamis, 02 Februari 2012

Mendidik dengan Cinta


Cinta, satu kata yang memiliki kekuatan yang dahsyat. Dunia dapat bergejolak karena cinta. Orang rela berkorban, rela mati, dan rela menngorbankan segalanya salah satunya karena adanya cinta. Banyak orang cinta kepada harta, cinta kepada istri/suami, cinta kepada anak, cinta kepada bangsa tetapi cinta tertinggi adalah  cinta kepada Allah SWTdan Rasul-Nya. Itulah cinta tertinggi yang mesti dilakukan oleh seorang muslim. Bagaimana Nabi Ibrahim mengorbankan putranya Ismail, bagaimana Rasulullah Muhammad SAW harus dicaci-maki, dilempari batu, bahkan akan dibunuh. Begitu pula para nabi dan sahabat nabi yang kisahnya melegenda di telinga kita. Mereka semua rela berkorban karena didasari cinta kepada Allah SWT. Mereka hanya mengharapkan ridha dan kasih sayang-Nya. Bukan puja manusia yang penuh khilaf dan hina. Begitu pula ketika kita mendidik putra-putri kita. Hendaknya semua didasari karena cinta.
          Pernah terjadi seorang Arab Badui, kencing di dalam masjid. Semua sahabat sudah tidak sabar untuk mengeluarkan/mengusir orang Badui tersebut. Tetapi Rasulullah melarangnya. Rasulullah meminta untuk menunggu sampai selesai orang tersebut kencing. Setelah selesai baru nanti kita suruh pergi. Ternyata, Rasulullah tidak marah ketika melihat pemandangan yang tidak sedap seperti di atas. Tetapi dengan cintanya Rasulullah menunggu sampai selesai dan baru mempersilahkan untuk meninggalkan masjid serta menyuruh sahabat untuk membersihkannya. Dari pelajaran ini ternyata jika orang Badui tersebut diusir sebelum kecingnya selesai maka bekas air kencingnya akan menyebar kemana-mana dan lebih susah untuk membersihkannya. Lagi pula orang Badui tersebur belum paham sehingga masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang. Bagaimana dengan Bapak/Ibu ketika melihat kelakukan putra-putri yang tidak sesuai dengan keinginan kita ? Marah lalu menghukumnya ? Ataukah kita diam membiarkan anak kita berbuat sesukanya ?
          Anak adalah tetap anak dengan segala katrakteristiknya. Bukan orang dewasa yang sudah mengerti segalanya. Segala tingkah polahnya masih banyak didasarkan pada dunia bermain dan menyenangkan. Sehingga mereka akan menyenangi sesuatu manakala mengandung aspek keduanya tersebut. Termasuk dalam pola asuh mendidik anak. Dalam mendidik anak dibutuhkan sebuah konsep pendidikan yang benar sehingga selama hidupnya konsep tersebut akan terpatri dalam sikap dan tutur katanya.
          Mendidik anak dengan cinta dimaksudkan dalam memberikan bimbingan kepada siswa baik guru ( bapak/ibu orang tua ) selalu dilandasi rasa penuh kasih sayang, sepenuh hati, tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam, dan karena tuntutan nurani sebagai seorang pendidik mulia.
          Semua orang adalah “pendidik”. Sehingga semua orang memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada putra-putrinya. Apa pun dan seberapa pun pendidikan yang kita berikan kepadanya, itulah bukti cinta kepada anak-anak kita. Anak-anak kita tidak hanya puas sekedar dipenuhi kebutuhan materinya, tetapi mereka tetap membutuhkan belaian cinta dan kasih sayang yang tulus dari orang tua. Tanpa itu yang terjadi adalah kegersangan jiwa yang terus melanda. Semoga dengan dilandasi cinta pola asuh yang kita laksanakan itu mampu membangkitkan jiwa robbani anak dan mampu mengantarkan ke terminal kesholehan.
Penulis yakin semua orang tua menginginkan putra-putrinya kelak menjadi orang yang sholeh dan sholehah yang berguna bagi bangsa dan  negara.
Narasi  di atas adalah sebuah gambaran pola komunikasi antara guru dan  siswa di SD PK. Betapa indahnya jika suatu permasalahan diselesaikan dengan damai, bersahabat, senyuman, penuh kasih sayang, dan saling memaafkan. Ustad yang terkena bola dua kali bahkan mengambilnya pun dengan merebut, tidak tergesa-gesa marah dan  membentak. Malahan dibalas dengan senyuman dan pemberian maaf.
Bagi sebagian orang hal itu tidak pantas dilakukan oleh seorang guru. Siswa harus mendapatkan  hukuman, marah-marah,  dan kata-kata “keras” bernada ancaman. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan efek jera pada si anak serta demi harga diri guru. Tetapi efektifkah ini bagi si anak ?
Anak tetaplah  anak dengan segala karakteristik dan keunikannya.  Bukan orang dewasa yang pola pikirnya sudah  maju dan matang. Bagaimana jika setiap persoalan kita selesaikan dengan marah-marah dan penuh emosional ? Apakah tidak akan mengotori hati anak kata-kata “pedas” yang kita ucapkan kepada anak ?
Seorang guru yang baik ketika melihat “kenakalan “ anak adalah bagaikan melihat bunga yang sedang layu. Jika tidak disiram, bunga tersebut akan lekas mati. Tetapi jika bunga tersebut tetap kita siram, pupuk, rawat, dan dijaga dengan kesabaran maka bunga itu akan tumbuh serta mekar kembali. Sehingga akan sedap di pandang mata.
Berangkat dari hal di atas alangkah baiknya jika di setiap harinya  kita galakkan sebagai “HARI KASIH SAYANG”. Artinya setiap hari ketika menghadapi anak dengan segala permasalahannya  hendaknya dilandasi dengan rasa kasih sayang dan kelembutan. Mudah-mudahan dengan pendekatan kasih sayang, si anak akan respek dan dengan kesadaran sendiri mau mengubah segala perilakunya.
Apabila anak berubah menjadi baik atas kesadarannya sendiri akan lebih berarti bagi dirinya daripada perubahan itu melalui treatment  yang kurang bersahabat bagi diri siswa. Banyak kasus dalam dunia pendidikan kita yang melibatkan hubungan anatara siswa dan guru berakhir dengan kekerasan. Apakah siswa dipukul, ditampar, ditendang, dicubit ataupun perlakuan lain ( baca: hukuman fisik lainnya ) yang sudah tidak edukatif.
Penulis masih teringat adanya kasus kekerasan yang menimpa salah satu siswa di Bekasi beberapa waktu yang lalu. Salah satu siswa dipukul oleh siswa sekelas karena tidak menjalani tugas piket. Dan parahnya sebelum dipukul dia dapat “bonus” tempelengan dari seorang guru. Ini adalah sebuah perlakuan yang tidak manusiawi. Artinya permasalahan itu tidak didudukan pada persoalan sebenarnya. Sehingga yang tejadi adalah letupan emosional sesaat yang berakibat fatal bagi siswa. Sudah menyakiti secara fisik belum lagi psikologis yang diakibatkan atas perbuatan yang tidak manusiawi tersebut.Di mana sisi moralitas seorang guru ? Apakah setiap persoalan diselesaikan dengan kekerasan ? Di mana rasa cinta dan kasih sayang seorang guru kepada muridnya ?
Kita semua sepakat bahwa setiap akibat ada sebabnya. Namun, bukan berarti setiap kesalahan siswa selalu dijadikan alasan untuk “menghukum”secara fisik. Boleh jadi para guru yang baik hati mencari solusi dalam memberi hukuman yang tepat. Yaitu hukuman yang edukatif, produktif, serta efektif. Artinya hukuman tersebut memberikan efek jera dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan agama. 
Kini kita hidup di era digital dan globalisasi. Setiap permasalahan hendaknya disikapi dengan situasi dan kondisi di mana kita sekarang ada. Tulisan ini bukan berarti untuk menunjukkan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan guru dalam mengatasi siswa. Artinya, guru tetaplah guru yang memiliki kewibawaan  dengan ilmu, yang memiliki jiwa pendidik luhur, dan akhlak yang beradab. Sehingga siswa tetap harus menghormati dan menghargai seoarang guru secara proporsional. Bukan sebaliknya. Siswa berani terhadap guru, siswa berani mencederai guru, siswa berani merendahkan martabat guru dan sebagainya. Manakala antara guru dan siswa terjalin hubungan yang harmonis dan menyenangkan maka yang terjadi adalah peningkatan hasil belajar siswa. Sebab kelekatan antara siswa dan guru sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa.

* Muhdiyatmoko; Staf Pengajar SD-SMP Muhammadiyah Program Khusus Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar